Sudah banyak sekali tulisan yang bertema sepak bola Indonesia. Tidak hanya tulisan, tetapi lebih banyak hujatan yang ditujukan untuk sepak bola negeri ini. Kali ini, saya akan mencoba “membuat” sejarah yang seharusnya terjadi di dalam sepak bola Indonesia. Karena penuh rekayasa, tentu saja tulisan ini bersifat fiktif. Akan tetapi, tidak apa-apa, tulisan ini hanya untuk membuat kita para pecinta sepak bola agar lebih semangat saja.
Mungkin sebagian dari kita masih ingat tentang karier salah satu pesepakbola nasional, Kurniawan Dwi Yulianto, yang pernah merumput di Italia tepatnya di klub Sampdoria. Di tahun 1996, ini merupakan prestasi tersendiri untuk sepak bola kita. Ternyata ada pemain Indonesia, saat itu, yang sudah berkostum salah satu klub Liga Italia. Lebih dalam lagi, Kurniawan ini mendapat pujian sebagai pemain muda berbakat dari pelatih Sampdoria waktu itu, Sven-Goran Eriksson.
Akan tetapi, Kurniawan tiba-tiba memutuskan untuk kembali ke tanah air untuk melanjutkan karier sepak bolanya. Kurniawan sendiri tidak pernah mengemukakan alasan kepulangannya ini ke publik sampai sekarang. Akibatnya, banyak sekali spekulasi yang muncul karena kepulangannya yang terkesan “mendadak” itu. Mulai dari karena pengaruh narkoba, doping, sampai akibat pergaulan malam “Negeri Pizza” tersebut. Semuanya masih tanda tanya besar.
Nah, ini cerita saya. Seandainya, Si “Kurus” (julukan Kurniawan) tetap berkarier di Italia, mungkin saja dia sudah menjadi pemain yang akan dikenang oleh publik Stadion Luigi Ferraris. Kariernya mungkin akan secemerlang Antonio Cassano (striker Sampdoria saat ini). Karena penampilan yang bagus dari Kurniawan, PSSI tidak ragu untuk mengirimkan pemain Indonesia yang lain untuk berlatih di Italia.
Apakah yang terjadi selama 12 tahun kemudian (tahun 2008 sekarang)? Hehe, kali ini saya mengkhayal kembali. Tahun ini, mungkin sudah banyak pemain Indonesia yang merumput di Serie A. Saya sebutkan saja. Bambang Pamungkas mungkin sudah menjadi striker andalan di AS Roma. Gelandang serang seperti Firman Utina, mungkin sudah menjadi pemain utama di Lazio. Boaz Sollossa menjadi andalan di Fiorentina. Bahkan, kiper sekelas Ferry Rotinsulu sudah berkostum AC Milan. Dan tidak lupa juga, kalau pemain junior asal Indonesia usia 15-21 tahun sudah menghuni sekolah sepak bola binaan Juventus dan Inter Milan. Keren.
Jika ini terjadi, dampak bagi sepak bola dalam negeri sangat besar. Tidak akan ada lagi “tragedi” di dalam sepak bola nasional. Justru, Liga Indonesia sudah menjadi barometer liga-liga sepak bola di Asia. Liga Indonesia menjadi sangat kompetitif. Semua penonton tertib dan kualitas wasit yang meningkat tajam. Puncaknya adalah ketika harapan rakyat Indonesia bahwa Indonesia bisa lolos ke putaran final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Wah, tidak bisa dibayangkan jika sejarah sepak bola Indonesia yang “benar” itu terjadi. Sangat menyenangkan sekali rasanya ketika melihat sepak bola kita. Benar-benar membanggakan.
Saya tidak menyalahkan Kurniawan ketika sepak bola Indonesia menjadi tidak jelas seperti sekarang. Toh, Kurniawan sudah berjasa besar untuk Tim Nasional Indonesia. Yang salah adalah kesempatan (opportunity). Indonesia kurang diberi kesempatan lebih dalam memajukan sepak bolanya. Sangat kurang malah. Ketika Thailand akhir-akhir ini sudah “menyumbang” pemain mereka ke Liga Inggris, kita malah sibuk mengurusi kekerasan di dalam sepak bola kita. Thailand saja yang baru-baru ini melakukan “ekspor” pemain, sudah sangat bagus prestasinya. Apalagi Indonesia, karena kita sudah kurang lebih 12 tahun yang lalu melakukan teknik seperti itu.
Yang jelas, harapan terbesar saya adalah masih bisa menyaksikan Indonesia lolos ke Piala Dunia selama saya masih hidup. Entah kapan, yang jelas harus sabar.